MAKALAH SKI
“ PEMERINTAHAN AYYUBIYAH ”
OLEH
: Tita Nafiannisa
KELAS
: VIII Akselerasi
NIS
: 9153
Daftar Isi
1.
Daftar
Isi...............................................................................................................1
2.
Pendahuluan..........................................................................................................2
3.
Pembahasan..........................................................................................................4
3.1
Sejarah Munculnya
Dinasti Ayyubiyyah............................................................4
3.2
Politik dan Pendidikan
Islam Dinasti Ayyubiyah................................................8
3.3 Universitas Al-Azhar Pada Masa Dinasti
Ayyubiyah.........................................9
3.4 Kemajuan-keamajuan Pada
Masa Dinasti Ayyubiyah.....................................11
4.
Penutup.................................................................................................................13
4.1
Kesimpulan......................................................................................................13
4.2 Saran..............................................................................................................14
4.3 Daftar
pustaka................................................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN
Dinasti Ayyubiyah (567 –
648 H / 1171 – 1250 M) berdiri di atas puing-puing Dinasti Fatimiyah Syi’ah di
Mesir. Di saat Mesir mengalami krisis di segala bidang maka orang-orang Nasrani
memproklamirkan perang Salib melawan Islam, yang mana Mesir adalah salah satu
Negara Islam yang diintai oleh Tentara Salib.Shalahudin al-Ayyubi seorang
panglima tentara Islam tidak menghendaki Mesir jatuh ke tangan tentara Salib,
maka dengan sigapnya Shalahudin mengadakan serangan ke Mesir untuk segera
mengambil alih Mesir dari kekuasaan Fatimiyah yang jelas tidak akan mampu
mempertahankan diri dari serangan Tentara Salib. Menyadari kelemahannya dinasti
fatimiyah tidak banyak memberikan perlawanan, mereka lebih rela kekuasaannya
diserahkan kepada shalahudin dari pada diperbudak tentara salib yang kafir,
maka sejak saat itu selesailah kekuasaan dinasti fatimiyah di Mesir, berpindah tangan
ke Shalahudin al-Ayyubi.Shalahudin panglima perang Muslim yang berhasil merebut
Kota Yerusalem pada Perang Salib itu tak hanya dikenal di dunia Islam, tetapi
juga peradaban Barat. Sosoknya begitu memesona. Ia adalah pemimpin yang
dihormati kawan dan dikagumi lawan. Pada akhir 1169 M, Shalahudin mendirikan
sebuah kerajaan Islam bernama Ayyubiyah. Di era keemasannya, dinasti ini
menguasai wilayah Mesir, Damaskus, Aleppo, Diyarbakr, serta Yaman. Para
penguasa Dinasti Ayyubiyah memiliki perhatian yang sangat besar dalam bidang
pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Tak heran jika kota-kota Islam
yang dikuasai Ayyubiyah menjadi pusat intelektual. Di puncak kejayaannya,
beragam jenis sekolah dibangun di seluruh wilayah kekuasaan dinasti itu.
Madrasah-madrasah itu dibangun tak hanya sekadar untuk membangkitkan dunia
pendidikan, tetapi juga memopulerkan pengetahuan tentang mazhab Sunni. Di masa
kepemimpinan Shalahudin, di Kota Damaskus berdiri sebanyak 20 sekolah, 100
tempat pemandian, dan sejumlah tempat berkumpulnya para sufi. Bangunan madrasah
juga didirikan di berbagai kota, seperti Aleppo, Yerusalem, Kairo, Alexandria,
dan di berbagai kota lainnya di Hijaz. Sejumlah sekolah juga dibangun oleh para
penerus tahta kerajaan Ayyubiyah. “Istri-istri dan anak-anak perempuan penguasa
Ayyubiyah, komandan, dan orang-orang terkemuka di dinasti itu mendirikan dan
membiayai lembaga-lembaga pendidikan’’ . Meski Dinasti Ayyubiyah menganut
mazhab fikih Syafi’i, mereka mendirikan madrasah yang mengajarkan keempat
mazhab fikih. Sebelum Ayyubiyah menguasai Suriah, di wilayah itu tak ditemukan
sama sekali madrasah yang mengajarkan fikih mazhab Hambali dan Maliki. Setelah
Ayyubiyah berkuasa di kawasan itu, para ahli sejarah menemukan 40 madrasah
Syafi’i, 34 Hanafi, 10 Hambali, dan tiga Maliki.Dibalik kemajuan sebuah
peradaban, terdapat juga kemunduran pada sebuah kekuasaan, tidak terkecuali
pada Dinasti Ayyubiyah terutama dalam bidang politik dan pendidikannya.
Untuk
melihat bagaimana kemajuan dan kemunduran Dinasti Ayyubiyah dilihat dari
politik dan pendidikan pada masa itu, maka pemakalah dalam hal ini akan
membatasi pembahasan mengenai Dinasti Ayyubiyah; hubungan politik dengan
pendidikan Islam dengan sub pembahasan yakni, sejarah dinasti ayyubiyah,
politik dan pendidikan Islam dinasti ayyubiyah, universitas al-Azhar pada masa
dinasti ayyubiyah, serta kemajuan-kemajuan pada masa dinasti ayyubiyah.
http://duniamakalah88.wordpress.com/2010/01/07/dinasti-ayyubiyah/
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Munculnya Dinasti Ayyubiyyah
Pendiri dinasti ini adalah Shalahudin Al-Ayyubi, lahir di takriet 532 H/1137
M meninggal 589 H/ 1193 M dimasyurkan oleh bangsa Eropa dengan nama saladin
pahlawan perang salib dari keluarga ayyubiyah suku kurdi.
Dinasti
Ayyubiyah di Mesir berkuasa tahun 1169 sampai akhir abad ke-15 M. menggantikan
dinasti Fatimiyah. Pendiri dinasti ini adalah Salahuddin. Ia menghapuskan
sisa-sia Fatimiyah di Mesir yang bercorak Syi’i dan mengembalikannya ke faham
sunni-ahlu sunnah wal jama’ah-. Reputasi Salahudin bersinar setelah sukses
melawan tentara Salib dengan mempersatukan pasukan Turki, Kurdi dan Arab. Kota
Yerussalem pada tahun 1187 kembali ke pangkuan Islam dari tangan tentara Salib
yang telah menguasainya selama 80 tahun.
Gangguan politik
terus-menerus dari wilayah sekitarnya menjadikan wibawa Fathimiyah merosot.
Pada 564 Hijriah atau 1167 Masehi, Salahuddin Al-Ayyubi mengambil alih
kekuasaan Fathimiyah[1]. Tokoh Kurdi yang juga pahlawan Perang Salib tersebut membangun Dinasti
Ayyubiyah, yang berdiri disamping Abbasiyah di Baghdad yang semakin lemah.
- Ketika ia menguasai Iskandariyah ia tetap
mengunjungi orang-orang kristen
- Ketika perdamaian tercapai dengan tentara
salib, ia mengijinkan orang-orang kristen berziarah ke Baitul Makdis.
Keberhasilan
beliau sebagai tentara mulai terlihat ketika ia mendampingi pamannya Asaduddin
Syirkuh yang mendapat tugas dari Nuruddin Zanki untuk membantu Bani Fatimiyah
di Mesir yang perdana menterinya diserang oleh Dirgam. Salahuddin Yusuf
al-Ayyubi berhasil mengalahkan Dirgam, sehingga ia dan pamannya mendapat hadiah
dari Perdana Menteri berupa sepertiga pajak tanah Mesir. Akhirnya Perdana
Menteri Syawar berhasil menduduki kembali jabatannya pada tahun 1164 M.
Tiga tahun kemudian, Salahuddin Yusuf
al-Ayyubi kembali bergabung pamannya ke Mesir.Hal ini dilakukan karena Perdana
Menteri Syawar berafiliasi / bekerjasama dengan Amauri yaitu seorang panglima
perang tentara salib yang dulu pernah membantu Dirgam. Maka terjadilah perang yang
sangat sengit antara pasukan Shalahuddin dan tim Syawar yang dibantu oleh
Amauri.
Dalam peperangan tersebut pasukan Shalahuddin berhasil menduduki Iskandariyah,
tetapi ia dikepung dari darat dan laut oleh tentara salib yang dipimpin oleh
Amauri.
Akhirnya perang ini berakhir dengan perjanjian damai pada bulah
Agustus 1167 M, yang isinya adalah sebagai berikut:
- Pertukaran
tawanan perang
- Salahuddin
Yusuf al-Ayyubi harus kembali ke Suriah
- Amauri
harus kembali ke Yerusalem
- Kota
Iskandariyah diserahkan kembali kepada Syawar.
Pada tahun 1169, tentara salib yang dipimpin oleh Amauri melanggar
perjanjian damai yang disepakati sebelumnya yaitu Dia menyerang Mesir dan
bermaksud untuk menguasainya. Hal itu tentu saja sangat membahayakan
kondisi umat islam di Mesir, karena:
- Mereka
banyak membunuh rakyat di Mesir
- Mereka
berusaha menurunkan Khalifah al-Adid dari jabatannya
Khalifah al-Addid mengangkat Asaduddin Syirkuh sebagai Perdana
Menteri Mesir pada tahun 1169 M. ini merupakan pertama kalinya keluarga
al-Ayyubi menjadi Perdana Menteri, tetapi sayang beliau menjadi Perdana Menteri
hanya dua bulan karena meninggal dunia.Khalifal al-Adid akhirnya mengangkat
Salahuddin Yusuf al-Ayyubi menjadi Perdana Menteri menggantikan pamannya
Asaduddin Syirkuh dalam usia 32 tahun. Sebagai Perdana Menteri diketahui
gelah al-Malik an-Nasir artinya penguasa yang bijaksana. [2]
Setelah Khalifah
al-Adid (Khalifah Dinasti Fatimah) yang terakhir wafat pada tahun 1171 M,
Salahuddin Yusuf al-Ayyubi berkuasa penyh untuk menjalankan peran keagamaan dan
politik. Maka sejak saat itulah Dinasti Ayyubiyah mulai berkuasa sampai
sekitar 75 tahun lamanya.
Salahudin sebenarnya mulai
menguasai Mesir pada tahun 564H/1169M, akan tetapi baru dapat menghapuskan
kekuasaan Daulah Fatimiyah pada tahun 567H/1171M. Dalam masa tiga tahun itu, ia
telah menjadi penguasa penuh, namun tetap tunduk kepada Nuruddin Zangi dan
tetap mengakui kekhalifahan Daulah Fatimiyah. Jatuhnya Daulah Fatimiyah
ditandai dengan pengakuan Shalahudin atas khalifah Abbasiyah, al-Mustadi, dan
penggantian Qadi Syi’ah dengan Sunni. Bahkan pada bulan Mei 1175, Shalahudin
mendapat pengakuan dari Khilafah Abbasiyah sebagai penguasa Mesir, Afrika
Utara, Nubia, Hejaz dan Suriah. Kemudian ia menyebut dirinya sebagai Sultan .
Sepeluh tahun kemudian ia menaklukan Mesopotamia dan menjadikan para penguasa
setempat sebagai pemimpinnya.
Selain memperluas daerah kekuasaannya, sebagian besar usaianya juga dihabiskan untuk melawan kekuatan tentara Salib. Dalam kaitan itu, maka pada tahun 1170 M Salahudin telah berhasil menaklukan wilayah Masyhad dari tangan Rasyidin Sinan. Kemudian pada bulan Juli 1187 M ia juga berhasil merebut Tiberias, dan melancarkan perang Hattin untuk menangkis serangan tentara Salib. [2] http://smpnu2gresik.sch.id/?p=503
Selain memperluas daerah kekuasaannya, sebagian besar usaianya juga dihabiskan untuk melawan kekuatan tentara Salib. Dalam kaitan itu, maka pada tahun 1170 M Salahudin telah berhasil menaklukan wilayah Masyhad dari tangan Rasyidin Sinan. Kemudian pada bulan Juli 1187 M ia juga berhasil merebut Tiberias, dan melancarkan perang Hattin untuk menangkis serangan tentara Salib. [2] http://smpnu2gresik.sch.id/?p=503
Dalam peperangan ini, pasukan Perancis
dapat dikalahkan, Yerussalem sendiri kemudian menyerah tiga bulan berikutnya,
tepatnya pada bulan Oktober 1187 M, pada saat itulah suara azan menggema
kembali di Mesjid Yerussalem.
Jatunya pusat kerajaan Haatin ini memberi
peluang bagi Shalahudin al-Ayyubi untuk menaklukkan kota-kota lainya di
Palestina dan Suriah. Kota-kota di sini dapat ditaklukkan pada taun 1189 M,
sementara kota-kota lainnya, seperti Tripol, Anthakiyah,Tyre an beberapa kota
kecil lainnya masih berada di bawah kekuasaan tentara Salib.
Setelah
perang besar memperebutkan kota Acre yang berlangsung dari 1189-1191 M, kedua
pasukan hidup dalam keadaan damai. Untuk itu, kedua belah pihak mengadakan
perjanjian damai secara penuh pada bulan 2 November 1192 M. Dalam perjanjian
itu disebutkan bahwa daerah pesisir dikuasai tentara Salib, sedangkan daerah
pedalaman dikuasai oleh kaum muslim. Dengan demikian, tidak ada lagi gangguan
terhadap umat Kristen yang akan berziarah ke Yerussalem. Keadaan ini
benar-benar membawa kedamaian dan dapat dinikmati oleh Shalahudin al-Ayyubi
hingga menjelang akhir hayatnya, karena pada 19 Februari 1193 ia jatuh sakit di
Damaskus dan wafat dua belas hari kemudian dalam usia 55 tahun.
Dalam catatan sejarah, Shalahudin tidak hanya dikenal
sebagai panglima perang yang ditakuti, akan tetapi lebih dari itu, ia adalah
seorang yang angat memperhatikan kemajuan pendidikan, mendorong studi
keagamaan, membangun bendungan, menggali terusan, serta mendirikan sekolah dan
masjid. Salah satu karya yang sangat monumetal adalah Qal’ah al-Jabal, sebuah
benteng yang dibangun di Kairo pada tahun 1183. Secara umum, para Wazirnya
adalah orang-orang terdidik, seperti al-Qadi al-Fadl dan al-Katib al-Isfahani.
Sementara itu, sekretaris pribadinya bernama Bahruddin ibn Syaddad kemudian
juga dikenal sebagai penulis biografinya. Kekayaan Negara tidak digunakan untuk
kepentingan dirinya, tetapi dibagi-bagikan terutama kepada para prajurit dan
pensiunan, selain untuk membiayiai pembangunan. Dia hanya mewariskan empat
puluh tujuh dirham dan sebatang emas.
Setelah Shalahudin al-Ayyubi meninggal, daerah kekuaannya
yang terbentang dari sungai Tigris hingga sunagi Nil itu kemdian dibagi-bagikan
kepada keturunannya. Al- Malik al-Afdhal Ali, putera Shalahudin memperoleh
kekuasaan untuk memerintah di Damaskus, al-Aziz berkuasa di Kairo, al-Malik
al-Jahir berkuasa di Aleppo (Halab) , dan al-Adil, adik Shalahudin, memperoleh
kekuasaan di al-Karak dan asy-Syaubak. Antara tahun 1196 dan 1199, al-‘Adil
berhasil menguasai beberapa daerah lainnya, sehingga ia menjadi penguasa
tunggal untuk Mesir dan sebagian besar Suriah. Al-‘Adil yeng bergelar Saifuddin
itu mengutamakan politik perdamaian dan memajukan perdagangan dengan koloni
Perancis. Setelah ia wafat pada 1218 M, beberapa cabang Bani Ayyub menegakkan
kekuasaan sendiri di Mesir, Damaskus, Mesopotamia, Hims, Hamah, dan Yaman.
Sejak itu, sering terjadi konflik internal di anara keluarga Ayyubiyah di Mesir
dengan Ayubiyah di Damaskus untuk memperebutkan Suriah.
Kemudian al-Kamil Muhammad, putera al’Adil, yang
menguasai Mesir ( 615 – 635 H/ 1218 -1238 M) termasuk tokoh Bani Ayub yang
paling menonjol. Ia bangkit untuk melindungi daerah kekuasaannya dari
rongrongan tentara Salib yang telah menaklukkan Dimyat, tepi sungai Nil, utara
Kairo pada masa pemerintahan ayahnya. Tentara Salib memang nampaknya terus
berusaha menaklukan Mesir dengan bantuan Italia. Penaklukan Mesir menjadi
sangat penting, karena dari negeri itulah mereka akan dapat menguasai jalur
perdagangan Samudera Hindia melalui Laut Merah. Setelah hampir dua tahun
(November 1219 hingga Agustus 1221 M) terjadi konflik antara tentara salib
dengan pasukan Mesir, tetapi al-Kamil dapat memaksa tentara Salib untuk
meningalkan Dimyati.
Di samping memberikan perhatian serius pada dalam bidang
politik dan militer, al-Kamil juga dikenal sebagai seorang penguasa yang
memberikan perhatian terhadap pembangunan dalam negeri. Program pemerintahannya
yang cukup menonjol ialah membangun saluran irigasi dan membuka lahan lahan
pertanian serta menjalin hubungan perdagangan dengan Eropa. Selain itu, ia juga
dapat menjaga kerukunan hidup beragama antar umat Islam dengan Kristen Koptik,
dan bahkan sering mengadakan diskusi keagamaan dengan para pemimpin Koptik.
Pada masa itu kota Yerussalem masih tetap berada di bawah kekuasaan tentara Salib sampai 1244 M. Ketika al- Malik al-Saleh, putera Malik al- Kamil, memerintah tahun 1240 – 1249, pasukan Turki dari Khawarizm mengembalikan kota itu ke tangan Islam. Pada 6 Juni 1249 M pelabuhan Dimyati di tepi sungai Nil ditaklukan kembali oleh tentara salib yang dipimpin oleh
Pada masa itu kota Yerussalem masih tetap berada di bawah kekuasaan tentara Salib sampai 1244 M. Ketika al- Malik al-Saleh, putera Malik al- Kamil, memerintah tahun 1240 – 1249, pasukan Turki dari Khawarizm mengembalikan kota itu ke tangan Islam. Pada 6 Juni 1249 M pelabuhan Dimyati di tepi sungai Nil ditaklukan kembali oleh tentara salib yang dipimpin oleh
Raja Louis IX ari Perancis.Ketika
pasukan Salib hendak menuju Kairo, sungai Nil dalam keadaan pasang, sehingga
mereka menghadapi kesulitan dan akhirnya dapat dikalahkan oleh pasukan
Ayyubiyah pada April 1250. Raja Louis IX dan beberapa bangsawan Perancis
ditawan, tetapi kemudian mereka dibebaskan kembali setelah Dimyati dikembalikan
ke tangan tentara muslim, disertai dengan sejumlah bahan makanan sebagai bahan
tebusan. Kemudian pada bulan November 1249 M, Malik al-Saleh meninggal dunia.
Semula ia akan digantikan oleh putera mahkota, Turansyah. Untuk itu, Turansyah
dipanggil pulang dari Mesopotamia (Suriah) untuk menerima tampuk kekuasaan ini.
Untuk menghindari kevakuman kekuasaan, sebelum Turansyah tiba di Mesir, ibu
tirinya yaitu Sajaratuddur. Akan tetapi, ketika Turansyah akan mengambil alih
kekuasan ia mendapat tantangan dai para Mamluk, hamba sahaya yang dimiliki
tuannya, yang tidak menyenanginya. Belum genap satu tahun turansyah berkuasa,
ia kemudian dibunuh oleh para mamluk tersebut atas perintah ibu tirinya,
Sajaratuddur. Sejak saat itu, Sajaratddur menyatakan dirinya sebagai Sultanah
pertama di Mesir. Pada saat yang bersamaan, seorang pemimpin Ayubiyah bernama
al-Asyraf Musa dari Damaskus juga menyatakan dirinya sebagai sultan Ayyubiyah
meskipun hanya sebatas lambang saja tanpa kedaulatan atau kekuasaan yang riel.
Kekuasaan yang sebenarnya justeru berada di tangan seorang mamluk bernama
Izzuddin Aybak, pendiri dinasti Mamluk (1250-1257 ) . Akan tetapi, sejak
al-Asyraf Musa meninggal pada 1252 M, berakhirlah masa pemerintahan dinasti
al-Ayubiyah, dan kekuasaan beralih ke pemerintahan Dinasti Mamluk ( 1250-121517
M).
Selama lebih kurang 75 tahun dinasti Al-Ayyubiyah
berkuasa, terdapat 9 orang penguasa, yakni sebagai berikut:
- Shalahuddin
Yusuf Al-Ayyubi(1171-1193 M)
- Malik
Al-Aziz Imaduddin (1193-1198 M)
- Malik
Al-Mansur Nasiruddin (1198-1200 M)
- Malik
Al-Adil Saifuddin, pemerintahan I (1200-1218 M)
- Malik
Al-Kamil Muhammad (1218-1238 M)
- Malik
Al-Adil Sifuddin, pemerintahan II (1238-1240 M)
- Malik
As-Saleh Najmuddin (1240-1249 M)
- Malik
Al-Mu’azzam Turansyah (1249-1250 M)
- Malik
Al-Asyraf Muzaffaruddin (1250-1252 M)
B. Politik dan Pendidikan Islam Dinasti Ayyubiyah
Keberhasilan Shalahudin
dalam perang Salib , membuat para tentara mengakuinya sebagai pengganti dari
pamannya, Syirkuh yang telah meninggal setelah menguasai Mesir tahun 1169 M. Ia
tetap mempertahankan lembaga–lembaga ilmiah yang didirikan oleh Dinasti
Fatimiyah tetapi mengubah orientasi keagamaannya dari Syi’ah menjadi Sunni.
Penaklukan atas Mesir oleh Shalahudin pada 1171 M,
membuka jalan politik bagi pembentukan madzhab-madzhab hukum sunni di Mesir.
Madzhab Syafi’i tetap bertahan di bawah pemerintahan Fatimiyah, sebaliknya
Shalahudin memberlakukan madzhab-madzhab Hanafi. Keberhasilannya di Mesir
tersebut mendorongnya untuk menjadi penguasa otonom di Mesir.
Sebelumnya, Shalahudin masih menghormati simbol-simbol Syi’ah pada pemerintahan Al-Adil Lidinillah, setelah ia diangkat menjadi Wazir (Gubernur). Namun, setelah al-Adil meninggal 1171 M, Shalahudin menyatakan loyalitasnya kepada Khalifah Abbasiyah (al-Mustadi) di Bagdad dan secara formal menandai berakhirnya rezim Fatimiyah di Kairo.
Dengan jatuhnya Dinasti Fatimiyah, secara otomatis terhentilah fungsi madrasah sebagai penyebaran faham Syi’ah. Salah satu penyebaran faham Syi’ah pada saat itu adalah melalui jalur pendidikan. Kemudian digantikan oleh Dinasti Ayyubiyah yang menganut faham Sunni. Belajar dari Politik Dinasti Fatimiyah yang memasukkan faham politik syi’ah ke lembaga pendidikan, Shalahudin kemudian mendirikan madrasah-madrasah sebagai pusat penyebaran faham Sunni. Selain itu, banyak pihak swasta yang mendirikan madrasah-madrasah dengan maksud untuk menanamkan ide-idenya dalam rangka mencari keridhaan Allah Swt. serta menyebarkan faham keagamaan yang dianutnya, yang tidak dapat disalurkan lewat mesjid karena berorientasi pada kepentingan pemerintah atau politik, yang semakin hari semakin bertambah banyak madrasah yang didirikan dalam masa pemerintahan Dinasti Ayyubiyah. Sebagai contoh adalah madrasah-madrasah berikut ini:Berbeda dengan kuttab dan mesjid, madrasah sudah mempunyai bangunan fisik tertentu seperti sekarang ini, yang bentuknya dirancang sesuai fungsinya untuk melanjutkan pendidikan mesjid. Bangunan madrasah tersebut meliputi tiga unit, yaitu; Unit madrasah, unit asrama, dan unit mesjid. Unit asarama dijadikan tempat murid-murid, guru-guru dan para pegawai madrasah sehingga membentuk keluarga besar, dengan demikian murid-murid dapat diberikan program-program belajar yang intensif dan membahas secara bersama-sama masalah-masalah yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, keagamaan, kemasyarakatan, dan penghidupan.
Sebelumnya, Shalahudin masih menghormati simbol-simbol Syi’ah pada pemerintahan Al-Adil Lidinillah, setelah ia diangkat menjadi Wazir (Gubernur). Namun, setelah al-Adil meninggal 1171 M, Shalahudin menyatakan loyalitasnya kepada Khalifah Abbasiyah (al-Mustadi) di Bagdad dan secara formal menandai berakhirnya rezim Fatimiyah di Kairo.
Dengan jatuhnya Dinasti Fatimiyah, secara otomatis terhentilah fungsi madrasah sebagai penyebaran faham Syi’ah. Salah satu penyebaran faham Syi’ah pada saat itu adalah melalui jalur pendidikan. Kemudian digantikan oleh Dinasti Ayyubiyah yang menganut faham Sunni. Belajar dari Politik Dinasti Fatimiyah yang memasukkan faham politik syi’ah ke lembaga pendidikan, Shalahudin kemudian mendirikan madrasah-madrasah sebagai pusat penyebaran faham Sunni. Selain itu, banyak pihak swasta yang mendirikan madrasah-madrasah dengan maksud untuk menanamkan ide-idenya dalam rangka mencari keridhaan Allah Swt. serta menyebarkan faham keagamaan yang dianutnya, yang tidak dapat disalurkan lewat mesjid karena berorientasi pada kepentingan pemerintah atau politik, yang semakin hari semakin bertambah banyak madrasah yang didirikan dalam masa pemerintahan Dinasti Ayyubiyah. Sebagai contoh adalah madrasah-madrasah berikut ini:Berbeda dengan kuttab dan mesjid, madrasah sudah mempunyai bangunan fisik tertentu seperti sekarang ini, yang bentuknya dirancang sesuai fungsinya untuk melanjutkan pendidikan mesjid. Bangunan madrasah tersebut meliputi tiga unit, yaitu; Unit madrasah, unit asrama, dan unit mesjid. Unit asarama dijadikan tempat murid-murid, guru-guru dan para pegawai madrasah sehingga membentuk keluarga besar, dengan demikian murid-murid dapat diberikan program-program belajar yang intensif dan membahas secara bersama-sama masalah-masalah yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, keagamaan, kemasyarakatan, dan penghidupan.
Tujuan
pendidikannya selain untuk mengembangkan ilmu pengetahuan agama dan membentuk
kader-kader yang mempunyai misi keagamaan dalam masyarakat, juga untuk mencetak
tenaga-tenaga yang kreatif yang ahli dalam bidangnya masing-masing.
Perbedaan-perbedaan lainnya adalah madrasah sudah merupakan salah satu organisasi resmi Negara di mana dikeluarkan pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintahan. Pelajar-pelajar disitu juga resmi, dijalankan menurut peraturan-peraturan dan undang-undang, serupa yang dikenal selama ini. Segala sesuatu diatur seperti kehadiran dan kepulangan murid, program-program pelajaran, staf pengajar, perpustakaan dan gelar-gelar ilmiah. Di Mesir ketika itu hanya terdapat satu buah perguruan tinggi yaitu Universitas al-Azhar yang masih berdiri hingga sekarang.
Selain itu, di masa pemerintahan Shalahudin, ia juga membina kekuatan militer yang tangguh dan perekonomian yang bekerja sama dengan penguasa Muslim di kawasan lain. Ia juga mambangun tembok kota sebagai benteng pertahanan di Kairo dan bukit Muqattam.
Pasukannya juga diperkuat oleh pasukan barbar, Turqi dan Afrika. Disamping digalakkan perdagangan dengan kota-kota dilaut tengah, lautan Hindia dan menyempurnakan sistem perpajakan. Atas dasar inilah, ia melancarkan gerakan ofensif guna merebut al-Quds (Jerusalem) dari tangan tentara Salib yang dipimpin oleh Guy de Lusignan di Hittin, dan menguasai Jerusalem tahun 1187 M. Inipun tetap tak merubah kedudukan Shalahudin, sampai akhirnya raja inggris Richard membuat perjanjian genjatan senjata yang dimanfaatkannya untuk menguasai kota Acre.Sampai ia meninggal (1193 M) , Shalahudin mewariskan pemerintahan yang stabil dan kokoh, kepada keturunan-keturunannya dan saudaranya yang memerintah diberbagai kota. Yang paling menonjol ialah al-Malik al-Adil (saudaranya), dan keponakannya al-Kamil, mereka berhasil menyatukan para penguasa Ayubi lokal dengan memusatkan pemerintahan mereka di Mesir.Selain hal di atas, aroma-aroma politik yang di jalankan pada masa Dinasti Ayyubiyah sampai juga di salah satu mesjid sekaligus madrasah ternama yakni al-Azhar. Disana disebarkan paham-paham Sunni yang semakin lama semakin menjamur.
Perbedaan-perbedaan lainnya adalah madrasah sudah merupakan salah satu organisasi resmi Negara di mana dikeluarkan pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintahan. Pelajar-pelajar disitu juga resmi, dijalankan menurut peraturan-peraturan dan undang-undang, serupa yang dikenal selama ini. Segala sesuatu diatur seperti kehadiran dan kepulangan murid, program-program pelajaran, staf pengajar, perpustakaan dan gelar-gelar ilmiah. Di Mesir ketika itu hanya terdapat satu buah perguruan tinggi yaitu Universitas al-Azhar yang masih berdiri hingga sekarang.
Selain itu, di masa pemerintahan Shalahudin, ia juga membina kekuatan militer yang tangguh dan perekonomian yang bekerja sama dengan penguasa Muslim di kawasan lain. Ia juga mambangun tembok kota sebagai benteng pertahanan di Kairo dan bukit Muqattam.
Pasukannya juga diperkuat oleh pasukan barbar, Turqi dan Afrika. Disamping digalakkan perdagangan dengan kota-kota dilaut tengah, lautan Hindia dan menyempurnakan sistem perpajakan. Atas dasar inilah, ia melancarkan gerakan ofensif guna merebut al-Quds (Jerusalem) dari tangan tentara Salib yang dipimpin oleh Guy de Lusignan di Hittin, dan menguasai Jerusalem tahun 1187 M. Inipun tetap tak merubah kedudukan Shalahudin, sampai akhirnya raja inggris Richard membuat perjanjian genjatan senjata yang dimanfaatkannya untuk menguasai kota Acre.Sampai ia meninggal (1193 M) , Shalahudin mewariskan pemerintahan yang stabil dan kokoh, kepada keturunan-keturunannya dan saudaranya yang memerintah diberbagai kota. Yang paling menonjol ialah al-Malik al-Adil (saudaranya), dan keponakannya al-Kamil, mereka berhasil menyatukan para penguasa Ayubi lokal dengan memusatkan pemerintahan mereka di Mesir.Selain hal di atas, aroma-aroma politik yang di jalankan pada masa Dinasti Ayyubiyah sampai juga di salah satu mesjid sekaligus madrasah ternama yakni al-Azhar. Disana disebarkan paham-paham Sunni yang semakin lama semakin menjamur.
C. Universitas Al-Azhar
Pada Masa Dinasti Ayyubiyah
Segera setelah dinasti Fatimiyah runtuh (1171M) Shalahudin al-Ayyubi
meng-hapuskan dinasti tersebut dan secara jelas ia menyatakan dirinya sebagai
penguasa baru atas Mesir, dengan nama dinasti Ayyubiyah. Dinasti ini lebih berorientasi
ke Baghdad, yang Sunni.
Nasib al-Azhar pada masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah, sebenarnya tidak lebih baik dari masa pemerintahan dinasti Fatimiyah. Sebab, setelah Shalahudin berkuasa, ia mengeluarkan beberapa kebijaksanaan baru mengenai al-Azhar. Kebijakan itu antara lain, penutupan al-Azhar. Al-Azhar tidak boleh lagi dipergunakan untuk shalat Jum’at dan Madrasah, juga dilarang dijadikan sebagai tempat belajar dan mengkaji ilmu-ilmu, baik agama, maupun ilmu umum. Alasannya, menurut Hasan Langgulung, penutupan itu diberlakukan karena al-Azhar pada masa dinasti Fatimiyah dijadikan sebagai alat atau wadah untuk mempropaganda ajaran Syi’ah. Hal itu amat berlawanan dengan mazhab resmi yang dianut dinasti Ayyubiyah, yaitu mazhab Sunni.
Kebijakan lain yang diambilnya adalah menunjuk seorang Qadi, Sadr al Din Abd al-Malik ibn Darabas untuk menjadi Qadi tertinggi, yang nantinya berhak mengeluarkan fatwa-fatwa tentang hukum-hukum mazhab Syafi’i. Di antaran fatwa yang dikeluarkan adalah melarang umat Islam saat itu untuk melakukan shalat Jum’at di masjid al-Azhar, dan hanya boleh melakukannya di masjid al-Hakim. Alasannya, masjid al-Hakim lebih luas. Selain itu, dalam mazhab Syafi’i tidak boleh ada dua khutbah Jum’at dalam satu kota yang sama.Masjid al-Azhar tidak dipakai untuk shalat Jum’at dan kegiatan pendidikan selama lebih kurang seratus tahun, yaitu sejak Shalahudin berkuasa sampai khutbah Jum’at dihidupkan kembali pada zaman pemerintahan Sultan Malik al-Zahir Baybars dari Dinasti Mamluk yang berkuasa atas Mesir.Meskipun begitu, penutupan al-Azhar sebagai masjid dan perguruan tinggi pada masa dinasti Ayyubiyah, bukanlah berarti dinasti ini tidak memperhatikan bidang-bidang agama dan pendidikan. Bahkan pendidikan mendapat perhatian serius dari para penguasa dinasti ini. Indikasinya adalah pembangunan madrasah-madrasah di hampir setiap wilayah kekuasaan, mengadakan pengajian tinggi (kulliyat) dan universitas pun digalakkan. Oleh karena itu, tidak kurang dari 25 kulliyat didirikan oleh kerajaan Ayyubiyah. Diantara kulliyat-kuliyyat yang terkenal adalah Manazil al-‘Iz, al-Kulliyat al-‘Adiliyah, al-Kulliyat al-Arsufiyah, al-Kulliyat al- Fadiliyah, al-Kulliyat al-Azkasyiayah, dan al-kulliyat al- ‘Asuriyah. Semua nama-nama itu dinisbatkan kepada nama-nama pendirinya, yang biasanya sekaligus pemberi wakaf bagi murid-murid dan guru-gurunya.Meskipun ada semacam larangan untuk tidak mengunakan al-Azhar sebagai pusat kegiatan, masjid itu tidak begitu saja ditinggalkan oleh murid-murid dan guru-guru, karena hanya sebagian mereka yang pergi meninggalkan tempat itu. Itu pun karena al-Azhar tidak mendapat subsidi (wakaf dari pemerintah). Dengan demikian, al-Azhar praktis mengalami masa-masa surut.Keadaan demikian tidak selamanya terjadi, sebab pada masa pemerintahan Sultan al-Malik al-Aziz Imaduddin Usman, putra Shalahudin al-Ayyubi datang seorang alim ke tempat ini (al-Azhar), ia bernama Abd al-Latif al-Baghdadi yang datang ke Mesir tahun 1193M/589H. Beliau mengajar di al-Azhar selama Sultan al-Malik al-Aziz berkuasa. Materi yang diajarkannya meliputi mantiq dan Bayan.Kedatangan al- Baghdadi menambah semangat beberapa ulama yang masih menetap di al-Azhar, di antara mereka adalah Ibn al-Farid, ahli sufi terkenal, Syeikh Abu al-Qosim al-Manfaluti, Syeikh Jama al-Din al- Asyuti, Syeikh Shahabu al-Din al-Sahruri, dan Syams al-Din Ibn Khalikan, seorang ahli sejarah yang mengarang kitab wafiyyat al-‘Ayan.Selain mengajar mantiq dan bayan, al- Baghdadi juga mengajar hadits dan fiqh. Materi itu diajarkan kapada para muridnya pada pagi hari. Tengah hingga sore hari ia mengajar kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya. Selain itu, al- Baghdadi juga memberi kelas-kelas privat di tempat-tempat lain. Ini merupakan upaya al- Baghdadi untuk memberikan informasi dan sekaligus mensosialisasikan mazhab Sunni kepada masyarakat Mesir.Selama masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah di Mesir (1171-1250M), perkembangan aliran atau mazhab Sunni begitu pesat, pola dan sistem pendidikan yang dikembangkan tidak bisa lepas dari kontrol penguasa yang beraliran Sunni, sehingga al-Azhar dan masa-masa berikutnya merupakan lembaga tinggi yang sekaligus menjadi wadah pertahanan ajaran Sunni. Para penguasa dinasti Ayyubiyah yang sunni masih tetap menaruh hormat setia kepada pemerintahan khalifah Abbasiyah di Baghdad. Oleh karena itu, di bawah payung khalifah Abbasiyah mereka berusaha sungguh-sungguh menjalankan kebijaksanaan untuk kembali kepada ajaran Sunni. Salah satu lembaga strategis yang dapat diandalkan sebagai tempat pembelajaran.dan penyebaran ajaran mazhab Sunni adalah al-Azhar.
Nasib al-Azhar pada masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah, sebenarnya tidak lebih baik dari masa pemerintahan dinasti Fatimiyah. Sebab, setelah Shalahudin berkuasa, ia mengeluarkan beberapa kebijaksanaan baru mengenai al-Azhar. Kebijakan itu antara lain, penutupan al-Azhar. Al-Azhar tidak boleh lagi dipergunakan untuk shalat Jum’at dan Madrasah, juga dilarang dijadikan sebagai tempat belajar dan mengkaji ilmu-ilmu, baik agama, maupun ilmu umum. Alasannya, menurut Hasan Langgulung, penutupan itu diberlakukan karena al-Azhar pada masa dinasti Fatimiyah dijadikan sebagai alat atau wadah untuk mempropaganda ajaran Syi’ah. Hal itu amat berlawanan dengan mazhab resmi yang dianut dinasti Ayyubiyah, yaitu mazhab Sunni.
Kebijakan lain yang diambilnya adalah menunjuk seorang Qadi, Sadr al Din Abd al-Malik ibn Darabas untuk menjadi Qadi tertinggi, yang nantinya berhak mengeluarkan fatwa-fatwa tentang hukum-hukum mazhab Syafi’i. Di antaran fatwa yang dikeluarkan adalah melarang umat Islam saat itu untuk melakukan shalat Jum’at di masjid al-Azhar, dan hanya boleh melakukannya di masjid al-Hakim. Alasannya, masjid al-Hakim lebih luas. Selain itu, dalam mazhab Syafi’i tidak boleh ada dua khutbah Jum’at dalam satu kota yang sama.Masjid al-Azhar tidak dipakai untuk shalat Jum’at dan kegiatan pendidikan selama lebih kurang seratus tahun, yaitu sejak Shalahudin berkuasa sampai khutbah Jum’at dihidupkan kembali pada zaman pemerintahan Sultan Malik al-Zahir Baybars dari Dinasti Mamluk yang berkuasa atas Mesir.Meskipun begitu, penutupan al-Azhar sebagai masjid dan perguruan tinggi pada masa dinasti Ayyubiyah, bukanlah berarti dinasti ini tidak memperhatikan bidang-bidang agama dan pendidikan. Bahkan pendidikan mendapat perhatian serius dari para penguasa dinasti ini. Indikasinya adalah pembangunan madrasah-madrasah di hampir setiap wilayah kekuasaan, mengadakan pengajian tinggi (kulliyat) dan universitas pun digalakkan. Oleh karena itu, tidak kurang dari 25 kulliyat didirikan oleh kerajaan Ayyubiyah. Diantara kulliyat-kuliyyat yang terkenal adalah Manazil al-‘Iz, al-Kulliyat al-‘Adiliyah, al-Kulliyat al-Arsufiyah, al-Kulliyat al- Fadiliyah, al-Kulliyat al-Azkasyiayah, dan al-kulliyat al- ‘Asuriyah. Semua nama-nama itu dinisbatkan kepada nama-nama pendirinya, yang biasanya sekaligus pemberi wakaf bagi murid-murid dan guru-gurunya.Meskipun ada semacam larangan untuk tidak mengunakan al-Azhar sebagai pusat kegiatan, masjid itu tidak begitu saja ditinggalkan oleh murid-murid dan guru-guru, karena hanya sebagian mereka yang pergi meninggalkan tempat itu. Itu pun karena al-Azhar tidak mendapat subsidi (wakaf dari pemerintah). Dengan demikian, al-Azhar praktis mengalami masa-masa surut.Keadaan demikian tidak selamanya terjadi, sebab pada masa pemerintahan Sultan al-Malik al-Aziz Imaduddin Usman, putra Shalahudin al-Ayyubi datang seorang alim ke tempat ini (al-Azhar), ia bernama Abd al-Latif al-Baghdadi yang datang ke Mesir tahun 1193M/589H. Beliau mengajar di al-Azhar selama Sultan al-Malik al-Aziz berkuasa. Materi yang diajarkannya meliputi mantiq dan Bayan.Kedatangan al- Baghdadi menambah semangat beberapa ulama yang masih menetap di al-Azhar, di antara mereka adalah Ibn al-Farid, ahli sufi terkenal, Syeikh Abu al-Qosim al-Manfaluti, Syeikh Jama al-Din al- Asyuti, Syeikh Shahabu al-Din al-Sahruri, dan Syams al-Din Ibn Khalikan, seorang ahli sejarah yang mengarang kitab wafiyyat al-‘Ayan.Selain mengajar mantiq dan bayan, al- Baghdadi juga mengajar hadits dan fiqh. Materi itu diajarkan kapada para muridnya pada pagi hari. Tengah hingga sore hari ia mengajar kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya. Selain itu, al- Baghdadi juga memberi kelas-kelas privat di tempat-tempat lain. Ini merupakan upaya al- Baghdadi untuk memberikan informasi dan sekaligus mensosialisasikan mazhab Sunni kepada masyarakat Mesir.Selama masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah di Mesir (1171-1250M), perkembangan aliran atau mazhab Sunni begitu pesat, pola dan sistem pendidikan yang dikembangkan tidak bisa lepas dari kontrol penguasa yang beraliran Sunni, sehingga al-Azhar dan masa-masa berikutnya merupakan lembaga tinggi yang sekaligus menjadi wadah pertahanan ajaran Sunni. Para penguasa dinasti Ayyubiyah yang sunni masih tetap menaruh hormat setia kepada pemerintahan khalifah Abbasiyah di Baghdad. Oleh karena itu, di bawah payung khalifah Abbasiyah mereka berusaha sungguh-sungguh menjalankan kebijaksanaan untuk kembali kepada ajaran Sunni. Salah satu lembaga strategis yang dapat diandalkan sebagai tempat pembelajaran.dan penyebaran ajaran mazhab Sunni adalah al-Azhar.
Selain itu, masih banyak lagi perkembangan-perkembangan
yang diciptakan pada masa Dinasti Ayyubiyah ini dalam berbagai bidang, seperti
dapat kita baca pada pembahasan di bawah ini.
D. Kemajuan-keamajuan Pada Masa Dinasti Ayyubiyah
Sebagaimana dinasti-dinasti
sebelumnya, Dinasti Ayyubiyah pun mencapai kemajuan yang gemilang dan mempunyai
beberapa peninggalan bersejarah. Kemajuan-kemajuan itu mencakup berbagai
bidang, diantaranya adalah :
1. Bidang Arsitektur dan
Pendidikan
Penguasa Ayyubiyah telah
berhasil menjadikan Damaskus sebagai kota pendidikan. Ini ditandai dengan
dibangunnya Madrasah al–Shauhiyyah tahun 1239 M sebagai pusat pengajaran empat
madzhab hukum dalam sebuah lembaga Madrasah. Dibangunnya Dar al Hadist
al-Kamillah juga dibangun (1222 M) untuk mengajarkan pokok-pokok hukum yang
secara umum terdapat diberbagai madzhab hukum sunni. Sedangkan dalam bidang
arsitek dapat dilihat pada monumen Bangsa Arab, bangunan masjid di Beirut yang
mirip gereja, serta istana-istana yang dibangun menyerupai gereja. Shalahuddin
juga membangun benteng setelah menyadari bahwa ancaman pasukan salib akan terus
menghantui, maka tugas utama dia adalah mengamankan Kairo dan sekitarnya
(Fustat). Penasihat militernya saat itu mengatakan bahwa Kairo dan Fustat masing-masing
membutuhkan benteng pertahanan, tapi Shalahuddin memiliki ide brilian, bahwa
dia akan membangun benteng strategis yang melindungi secara total kotanya.
Selanjutnya, dia memerintahkan untuk membangun benteng kokoh dan besar diatas
bukit Muqattam yang melindungi dua kota sekaligus Kairo dan Fustat. Proyek
besar Citadel dimulai pada 1176 M dibawah Amir Bahauddin Qaraqush. Shalahuddin
juga membangun dinding yang memagari Kairo sebagai kota residen bani
Fatimiyyah, sekaligus juga memagari benteng kebesarannya serta Qata’i-al Fustat
yang saat itu merupakan pusat ekonomi Kairo terbesar.
2. Bidang Filsafat dan Keilmuan
2. Bidang Filsafat dan Keilmuan
Bukti konkritnya adalah
Adelasd of Bath yang telah diterjemahkan, karya-karya orang Arab tentang
astronomi dan geometri, penerjemahan bidang kedokteran. Di bidang kedokteran
ini telah didirikan sebuah rumah sakit bagi orang yang cacat pikiran.
3. Bidang Industri
Kemajuan di bidang ini
dibuktikan dengan dibuatnya kincir oleh seorang Syiria yang lebih canggih
dibanding buatan orang Barat. Terdapat pabrik karpet, pabrik kain dan pabrik
gelas.
4. Bidang Perdagangan
4. Bidang Perdagangan
Bidang ini membawa
pengaruh bagi Eropa dan negara–negara yang dikuasai Ayyubiyah. Di Eropa
terdapat perdagangan agriculture dan industri.
Hal ini menimbulkan
perdagangan internasional melalui jalur laut, sejak saat itu Dunia ekonomi dan
perdagangan sudah menggunakan sistem kredit, bank, termasuk Letter of Credit
(LC), bahkan ketika itu sudah ada uang yang terbuat dari emas.
5. Bidang Militer
Selain memiliki
alat-alat perang seperti kuda, pedang, panah, dan sebagainya, ia juga memiliki
burung elang sebagai kepala burung-burung dalam peperangan. Disamping itu,
adanya perang Salib telah membawa dampak positif, keuntungan dibidang industri,
perdagangan, dan intelektual, misalnya dengan adanya irigasi. [3]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di
atas dapat kita mengambil kesimpulan, bahwasanya dinasti Ayyubiyah adalah
dinasti yang berdiri di atas puing-puing dinasti fatimiayah yang tidak mampu
menghalau kekuatan serangan tentara salib pada masa itu. Dinasti Ayyubiyah
berkembang menjadi dinasti yang besar dan tangguh di bawah kepemimpinan
Shalahudin al-Ayyubi.
Shalahudin al-Ayyubi dengan sekuat tenaga bersama pasukannya menghalau tentara salib hingga kaum muslim menguasai kota Yerussalem. Selain mempertahankan dan memperluas kekuasaan Shalahudin al-Ayyubi juga mendirikan sarana pendidikan untuk generasi penerus yang mana lebih menekankan pada nilai-nilai ajaran Sunni.
Sasaran utama dalam hal ini mesjid sekaligus madrasah yang terkenal yakni al-Azhar. Al-Azhar pada saat itu, selain dijadikan tempat pendidikan juga sebagai wadah politik dan pertahanan ajaran Sunni. Hal ini dilakukan setelah runtuhnya Dinasti Fatimiyah. Selain itu, khalifah setelahnya pun ada yang mendirikan perguruan-perguruan tinggi yang semakin pesat.Hubungan politik dengan pendidikan yang terjadi pada saat itu tidak membuat pendidikan malah menurun. Banyak ulama-ulama yang berdatangan dari berbagai penjuru dengan mengajarkan ilmu-ilmu nya pada generasi penerus, menambah khazanah keilmuan dan melahirkan para ilmuan-ilmuan pada saat itu serta dibuktikan dengan banyaknya bermunculan madrasah-madrasah dan pembangunan diberbagai bidang, baik pendidikan, keilmuan, arsitektur, filsafat, perdagangan (ekonomi) maupun militer.
Berakhirnya dinasti Ayyubiyah setelah terbunuhnya khalifah terakhir karena adanya konflik antara Turansyah dengan Mamluk Bahr.
Shalahudin al-Ayyubi dengan sekuat tenaga bersama pasukannya menghalau tentara salib hingga kaum muslim menguasai kota Yerussalem. Selain mempertahankan dan memperluas kekuasaan Shalahudin al-Ayyubi juga mendirikan sarana pendidikan untuk generasi penerus yang mana lebih menekankan pada nilai-nilai ajaran Sunni.
Sasaran utama dalam hal ini mesjid sekaligus madrasah yang terkenal yakni al-Azhar. Al-Azhar pada saat itu, selain dijadikan tempat pendidikan juga sebagai wadah politik dan pertahanan ajaran Sunni. Hal ini dilakukan setelah runtuhnya Dinasti Fatimiyah. Selain itu, khalifah setelahnya pun ada yang mendirikan perguruan-perguruan tinggi yang semakin pesat.Hubungan politik dengan pendidikan yang terjadi pada saat itu tidak membuat pendidikan malah menurun. Banyak ulama-ulama yang berdatangan dari berbagai penjuru dengan mengajarkan ilmu-ilmu nya pada generasi penerus, menambah khazanah keilmuan dan melahirkan para ilmuan-ilmuan pada saat itu serta dibuktikan dengan banyaknya bermunculan madrasah-madrasah dan pembangunan diberbagai bidang, baik pendidikan, keilmuan, arsitektur, filsafat, perdagangan (ekonomi) maupun militer.
Berakhirnya dinasti Ayyubiyah setelah terbunuhnya khalifah terakhir karena adanya konflik antara Turansyah dengan Mamluk Bahr.
___
Wallaahusubhanahuwata’ala A’lam__
- Saran
Bahwa apa yang ada dalam makalah ini bukan semata pemikiran kami,
akan tetapi kami ambil dari berbagai referensi yang berkaitan dengan judul yang
ditigaskan kepada kami. Untuk itu marilah kita ambil hikmah dan
manfaatnya.
Adapun yang menjadi saran kami agar
isi makalah ini lebih ditingkatkan lagi, dengan mencari sumber-sumber lain,
sehingga kita bisa semakin mengerti dan memahami tentang sejarah peradaban
islam mulai dari zaman Rosulullah sampai saat sekarang ini.
Daftar
Pustaka
•
Lapidus, Ira. M., terj. 1999. Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada.
• Mukti, Abd, 2008. Pembaharuan Lembaga Pendidikan di Mesir. Bandung : Cita Pustaka Media Perintis .
• Tamim Ansary, 2010. A History of The World through Islamic Eyes, diterjemahkan oleh Destiny Discruted (United States: Public Affairs, 2009) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Yuliani Liputo, Dari Puncak Bagdad; Sejarah Dunia Versi Islam, Jakarta: Penerbit Zaman
• Team Penyusun Textbook Sejarah dan Kebudayaan Islam, 1981. Sejarah dan Kebudayaan Islam. IAIN Alaudin Ujung Pandang.
• Yatim, Badri. 2003. Sejarah Peradaban Islam. Jakrta : PT. Raja Grafindo Persada.
• Mukti, Abd, 2008. Pembaharuan Lembaga Pendidikan di Mesir. Bandung : Cita Pustaka Media Perintis .
• Tamim Ansary, 2010. A History of The World through Islamic Eyes, diterjemahkan oleh Destiny Discruted (United States: Public Affairs, 2009) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Yuliani Liputo, Dari Puncak Bagdad; Sejarah Dunia Versi Islam, Jakarta: Penerbit Zaman
• Team Penyusun Textbook Sejarah dan Kebudayaan Islam, 1981. Sejarah dan Kebudayaan Islam. IAIN Alaudin Ujung Pandang.
• Yatim, Badri. 2003. Sejarah Peradaban Islam. Jakrta : PT. Raja Grafindo Persada.
•
http://muhlis.files.wordpress.com/2007/08/dinasti_dinasti-lokal-aghlabiyah- fatimiyah-dll.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar